Tak terasa
waktu terus berlalu dan kita sampai di penghujung tahun. Dalam beberapa hari ke
depan, tahun 2014 akan segera berganti, dan tahun 2015 akan menjelang. Ini
tahun baru Masehi, tentu saja, karena tahun baru Hijriyah telah terjadi
beberapa pekan yang lalu.
Malam pergantian
tahun baru masehi sangat ditunggu-tunggu oleh semua kalangan. Tidak saja
dibelahan bumi lain seperti di Eropa dan Amerika, masyarakat kita juga sibuk
dan sangat menanti-nantikan malam pergantian tahun tersebut.
Berbeda halnya
dengan pergantian tahun baru hijriah, banyak masyarakat yang tidak
merayakannya, bahkan sekadar tahu saja mereka mungkin tidak.
Memang perayaan
tahun baru hijriah tidak dituntut untuk merayakannya dengan menyalakan kembang
api, meniup terompet, ataupun kumpul di pusat kota dengan tujuan yang tidak
jelas. Tetapi lebih kepada bagaimana memaknainya.
Melihat fenomena
tersebut, penulis merasa tergugah untuk sedikit mengupas sejarah dan pandangan
Islam terhadap tahun baru masehi.
Perayaan Tahun Baru
Saat ini, tahun
baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristiani.
Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang
menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.
Pada mulanya
perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru
pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi
dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1
Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal
tersebut.
Bagi
orang Kristiani yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun
baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih,
sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir
pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun
Masehi.
Pandangan Islam
Firman Allah SWT
dalam surah al-Furqan ayat 72, yang artinya:
“Dan
orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu
dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah,
mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”
Dalam ayat tersebut
terdapat kata “al-Zur” (perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah). Menurut
Ulama Tafsir, maksud al-Zur adalah perayaan-perayaan orang kafir (Ibn Kasir,
6/130). Jelas dari pada ayat ini Allah melarang kaum muslimin menghadiri
perayaan kaum muyrikin.
Hadis Sahih
al-Bukhari dan Muslim berikut ini, sabda Rasulullah SAW yang artinya:
“Sesungguhnya
bagi setiap kaum (agama) ada perayaannya dan hari ini (Idul adha) adalah
perayaan kita”. Oleh Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan maksud hadis
tersebut bahwa dilarang melahirkan rasa gembira pada perayaan kaum musyrikin
dan meniru mereka (dalam perayaan). (Fathul Bari, 3/371).
Dalam adat
masyarakat Aceh yang identik dengan nilai-nilai Islam, dulu hanya merayakan
peringatan hari besar Islam saja seperti perayaan maulid dan tahun baru hijriah
yang malamnya dihiasi dan dihidupkan dengan dalail khairat di balee dan
meunasah.
Melihat sejarah,
pandangan Islam serta adat Islami dalam masyarakat Aceh, tidak ada celah
sedikit pun bagi umat Islam untuk ikut merayakan atau sekadar untuk mengucapkan
“happy new years”.
Pada kenyataannya,
pada malam tahun baru dihiasi dengan berbagai hiburan yang menarik dan sayang
untuk dilewatkan. Muda-mudi tumpah ruah di jalanan, berkumpul di pusat kota
menunggu pukul 00.00, yang seolah-olah dalam pandangan sebagian orang “haram”
untuk dilewatkan.
Pada saat lonceng
tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan
orang-orang menerikkan “Selamat Tahun Baru”. Di negara-negara lain, termasuk
Indonesia? Sama saja!
Shahabat Abdullah
bin ’Amr RA memperingatkan dalam Sunan Al-Baihaqi IX/234:
”Barangsiapa
yang membangun negeri orang-orang kafir, meramaikan peringatan hari raya Nairuz
(tahun baru) dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia
dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.”
Bagi orang Islam,
merayakan tahun baru Masehi, tentu saja akan semakin ikut andil dalam menghapus
jejak-jejak sejarah Islam yang hebat.
Jika tidak tradisi
Islam akan tergerus tanpa ada yang peduli. Sementara beberapa waktu yang lalu,
kita semua sudah melewati tahun baru Muharram, dengan sepi tanpa gemuruh
apapun.